Penugasan interpretasi pertama Shirley terjadi 14 tahun lalu, saat ia bekerja di dalam booth di Bali bersama seorang juru bahasa berpengalaman yang sudah ia kenal beberapa tahun sebelumnya ketika bergabung dalam klub debat Bahasa Inggris.

Syukurlah, pengalaman tersebut justru mendorong Shirley untuk terus menjadi juru bahasa paruh waktu sambil bekerja di sebuah firma hukum yang berfokus pada isu-isu kemanusiaan. Saat itu, ia baru saja mengundurkan diri dari firma hukum komersial boutique papan atas satu bulan sebelumnya. Pekerjaan sebagai juru bahasa telah membawanya pada banyak pengalaman yang menarik.

Beberapa contohnya termasuk perjalanannya ke Baghdad untuk bekerja bersama sebuah organisasi parlemen dalam sebuah konferensi Islam, bertemu dengan Sultan Yogyakarta di kediamannya, bertemu dengan Duta Besar Amerika Serikat di kantornya, dan menyelesaikan penugasan selama dua minggu di sebuah pulau terpencil di wilayah timur Indonesia, di mana listrik hanya tersedia selama 6 jam sehari dan tidak ada air bersih yang mengalir.

Bepergian ke tempat-tempat baru dan bertemu dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia adalah sebagian dari alasan mengapa Shirley mencintai profesinya. Ia juga merupakan seorang pengacara infrastruktur, konsultan hubungan pemerintahan, dan dosen paruh waktu di sebuah universitas. Jenis tantangan dan peluang yang ia temui sebagai juru bahasa sangat berbeda dan jarang ia temui di profesi-profesi lainnya.

Kemampuan komunikasinya serta latar belakang hukumnya kadang menjadi nilai tambah yang sangat berguna dalam menjembatani kesenjangan komunikasi antar pihak, sekaligus memberikan sudut pandang berbeda bagi klien-kliennya dalam beberapa proyek.

Penugasan ke luar negeri telah membawanya ke berbagai tempat dengan berbagai alasan. Selain perjalanan ke Baghdad, yang paling berkesan adalah penugasan luar negeri pertamanya ke Seoul, Korea Selatan, bersama Ketua Parlemen dan para anggota dalam sebuah konferensi G-20.

Di sana ia mendapatkan pengalaman langsung dengan sistem SIS (Simultaneous Interpretation System) yang jauh lebih baik dari yang biasa ia gunakan di Indonesia, serta melakukan interpretasi konsekutif dalam pertemuan bilateral tingkat tinggi.

Dalam penugasan tersebut, ia juga sempat bertemu dengan Presiden Korea Selatan dan menghadiri jamuan makan malam di Blue House (Istana Kepresidenan Korea Selatan)—sebuah pengalaman tak terlupakan yang hanya mungkin terjadi berkat keahliannya sebagai juru bahasa profesional.